SEJARAH BERDIRINYA SHOLAWAT SERIBU REBANA
SEJARAH BERDIRINYA SHOLAWAT SERIBU REBANA
SEJARAH BERDIRINYA SHOLAWAT
SERIBU REBANA
Sejarah Singkat Jam’iyah Sholawat Seribu Rebana Kabupaten JombangRintik hujan terus menyelimuti Kota Santri Jombang sepanjang akhir 2009 hingga awal 2010. Langit dan bumi seakan didera kepedihan mendalam. Sementara jutaan manusia seperti tak rela melepas kepergian Gus Dur untuk selama-selamanya.30 Desember 2009, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pada pukul 18.45 , cucu pendiri NU Hadrotus Syekh KH Hasyim Asy’ari tersebut menghembuskan nafas terakhir di RSCM Jakarta. Mantan Presiden RI ke-4 itu meninggal dalam usia 69 tahun.Esoknya, Kamis (31/desember/2009), ratusan ribu manusia menyemut di Pesantren Tebuireng. Ikut larut mengantarkan Sang Guru Bangsa ke peristirahatan terakhirnya. Malamnya, malam pergantian tahun baru yang biasanya selalu dipenuhi kegiatan hura-hura seperti berganti nestapa. Mulai malam itu hingga tujuh harinya, puluhan ribu orang terus berduyun-duyun memadati makam Gus Dur untuk berkirim doa. Ihwal itu terus berlanjut hingga sekarang. Tiap hari ribuan orang datang untuk mendoakan Gus Dur ke makamnya.
Hanya saja pada malam tujuh hari dan 40 harinya, peringatan meninggalnya Gus Dur tidak hanya di peringati di Pesantren Tebuireng tempat Gus Dur dimakamkan. Tetapi juga diseantero nusantara seperti Jakarta, Surabaya, Makassar dan di banyak Kabupaten/Kota lainnya. Tiap kelompok dan komunitas memperingati meninggalnya Gus Dur dengan berbagai cara. Mulai pengajian, bedah buku, seminar hingga pameran seni bertema Gus Dur.
Di Jombang sendiri, nyaris tak ada peringatan lain kecuali di Pesantren Tebuireng. Nah, inilah yang memantik keprihatinan sejumlah tokoh. Diantaranya Pengasuh PP Fallahul Muhibbin KH Nur Hadi (Mbah Bolong) Watugaluh Diwek, Ustad H Chalimi Sumbermulyo Jogoroto dan Gus Latif Pesantren Tambakberas. Dalam beberapa kesempatan bertemu, ketiga orang ini kerap melontarkan kegalauan mereka terkait tidak adanya peringatan meninggalnya Gus Dur di Jombang selain di Tebuireng. ’’Teman-temanku yang dari Jakarta saja datang ke Jombang demi Gus Dur. Mereka juga adakan acara peringati meninggalnya Gus Dur. Yang di Malang juga mengadakan. Masak kita sendiri yang ketamuan Gus Dur malah tidak mengadakan. Bagaimanapun caranya kita harus mbancaki Gus Dur. Sebab Gus Dur ini kekasihnya Allah. Dan yakin kalau mbancaki Gus Dur tidak akan kurang, justru harta kita akan bertambah. Aku kenal orang yang demi mbancaki Gus Dur, dia sampai rela menjual apa-apa yang dimiliki. Seorang diri dia mengadakan acara memperingati meninggalnya Gus Dur. Dan dia bisa. Masak kita tidak bisa. Prinsip kenalanku itu gitu aja kok repot. Kalau ditanya dari mana dana adakan acara peringati Gus Dur, jawabnya gitu aja kok repot. Allah pasti meridloi dan memberi jalan hambanya yang ingin berbuat kebaikan,’’ urai Mbah Bolong dalam suatu kesempatan.
Lontaran serupa juga tidak sekali dua kali disampaikan Ustad Chalimi. ’’Bener Mbah, Jombang harus adakan acara peringati meninggalnya Gus Dur. Jepara dan daerah-daerah lain saja adakan. Isin kita kalau tidak mengadakan,’’ ucapnya pada Mbah Bolong.
Setali tiga uang, Gus Latif pun sangat semangat mewujudkan gagasan itu. ’’Kita harus mulai melangkah Mbah. Mestinya Pemda atau NU yang mengadakan. Tapi kalau tidak, ya kita harus mengadakan sendiri. Minimal bikin acara disini (Pesantren Fallahul Muhibbin) lah Mbah,’’ kata Gus Latif.
Saya sendiri yang beberapa kali ikut cangkrukan bersama mereka tidak tahu harus bilang apa. Saya hanya mengiyakan dan menganggukkan kepala saat mereka mendaratkan pandangan.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Kegelisahan para tokoh itu ternyata juga melanda Direktur Radar Mojokerto (Jawa Pos Grup) saat itu yakni Bu Naning. ’’Gus Dur dimakamkan diwilayah kita itu aset yang sangat berharga,’’ ucapnya suatu ketika. Makanya harus ada upaya untuk mengembangkan dan memaksimalkannya.
Akhirnya, Bos Naning memerintahkan untuk menggelar acara peringatan seratus hari Gus Dur di alun-alun Jombang. Semua karyawan pun diminta memberikan usulan kegiatan yang akan dilaksanakan. Banyak usulan yang masuk. Saya sendiri mengusulkan Salawat Seribu Rebana. Saya usul ini karena waktu kuliah dan nyantri di Malang pernah melihat pentas salawat kolosal di salah satu pasar. Bentuknya seperti Seribu Rebana kita yang sekarang. Ada dirigennya juga. Malah dirigennya bawa stik seperti orkestra. Cuma waktu itu yang mengadakan lembaga seni dan budaya NU (Lesbumi) Malang dengan disponsori produk rokok. Yang ceramah waktu itu KH Marzuki Mustamar, Pengasuh Pesantren Gasek yang sekarang Ketua PCNU Malang. Apa yang saya lihat di Malang itulah yang saya paparkan untuk meyakinkan bahwa acara ini bagus dan bisa sukses.
Singkat cerita, usul saya itu akhirnya disetujui dan saya disuruh menanganinya langsung. Tentu saja saya tidak kesulitan sebab tinggal menyambungkan dengan Mbah Bolong, Ustad Chalimi, Gus Latif dan beberapa orang lainnya yang langsung menyambut gembira kabar itu. ’’Ok, kita dukung penuh,’’ kata Mbah Bolong begitu saya kabari rencana itu. ’’Siapapun yang mengadakan akan kita dukung, yang penting demi Gus Dur,’’ tegasnya.
Guna menarik minat grup salawat untuk bergabung dalam acara itu, Radar Mojokerto menerbitkan iklan besar-besar. Selain itu, dengan dibantu sejumlah teman di IPNU, saya juga gerilya mendatangi grup-grup salawat yang ada guna meminta kesediaan partisipasi. Untuk lebih membangkitkan minat, kita memberi iming-iming bahwa grup salawat yang bersedia ikut akan difoto dan fotonya ditayangkan di Radar Mojokerto. Kapan lagi grup salawat kampung punya kesempatan mejeng di koran. Hehehe.
Sampai jelang acara, terdata 55 grup salawat yang menyatakan sanggup tampil. Datanya ada bila mau dilampirkan.
Agar semua grup itu bisa tampil kompak, kita memilih M Adib (Cak Adib), pengurus grup salawat Ki Brangti untuk memandu sekaligus menjadi dirigen dalam pentas tersebut. Demi Gus Dur, Cak Adib langsung menyambut antusias ajakan itu. ’’Cuma saya tidak punya kendaraan untuk riwa-riwi. Untunglah (alm) Kiai Dluha (mertua Mbah Bolong) mempersilahkan saya menggunakan motor bututnya kemana-kemana,’’ kata Cak Adib.
Setelah terkumpul beberapa grup, tahap persiapan tampil pun dimulai. Sampai pentas, setidaknya empat kali digelar gladi bersih. Yakni pada Rabu (24/3/2010) di markas Kiai Brangti Watugaluh. Lalu pada Jumat (26/3/2010) di PP Fallahul Muhibbin Watugaluh. Saat itu yang datang dari Radar Mojokerto selain saya juga Sulton dan (alm) Didit Yusanto, manajer even yang menghandel semua rangkaian acara peringatan Seratus Hari Gus Dur.
Gladi bersih ketiga dilaksanakan sehari jelang tampil yakni pada Sabtu (3/4/2010) di Musola Pendopo Kabupaten Jombang. Gladi bersih terakhir dilaksanakan Minggu (4/4/2010) sore atau dua jam sebelum tampil di alun-alun Jombang.
Hujan terus mengguyur selama acara itu. Mulai pukul 17.00-22.00. Meski demikian, baik jamaah yang hadir maupun anggota grup salawat yang tampil tetap khusyu dan tak sedikitpun beranjak dari tempat duduknya.
Acara itu pun dinilai sukses besar. Hingga muncul keinginan untuk merutinkan Salawat Seribu Rebana tersebut. Keinginan itupun langsung ditindaklanjuti dengan rapat di Musola punya Mas Eko Parimono pada Selasa (11/5/2010) untuk membentuk struktur kepengurusan Salawat Seribu Rebana. Semua yang hadir saat itu sepakat mengangkat Mbah Bolong sebagai pengasuh serta Ustad Muhajirin Bongkot Peterongan sebagai ketua, Afif Watugaluh Diwek sebagai sekretaris dan Rahmat Sumbermulyo Jogoroto sebagai bendahara.
Rapat itu juga sepakat untuk membuat rutinan Seribu Rebana tiap Sabtu malam Minggu Wage. Ustad Hajir yang turut rapat kala itu mempersilahkan rutinan kali pertama dilaksanakan di tempatnya yakni di Masjid Al-Mabrur Dusun Sumbersari Desa Sukosari Kecamatan Jogoroto pada Sabtu (19/6/20). Rutinan edisi perdana itu ternyata juga sukses dan terus berlanjut hingga sekarang.
Wallahul muwafiq ila aqwamitthariq.
Jombang, 12 Jumadil Tsaniyah 1433 H
Lontaran serupa juga tidak sekali dua kali disampaikan Ustad Chalimi. ’’Bener Mbah, Jombang harus adakan acara peringati meninggalnya Gus Dur. Jepara dan daerah-daerah lain saja adakan. Isin kita kalau tidak mengadakan,’’ ucapnya pada Mbah Bolong.
Setali tiga uang, Gus Latif pun sangat semangat mewujudkan gagasan itu. ’’Kita harus mulai melangkah Mbah. Mestinya Pemda atau NU yang mengadakan. Tapi kalau tidak, ya kita harus mengadakan sendiri. Minimal bikin acara disini (Pesantren Fallahul Muhibbin) lah Mbah,’’ kata Gus Latif.
Saya sendiri yang beberapa kali ikut cangkrukan bersama mereka tidak tahu harus bilang apa. Saya hanya mengiyakan dan menganggukkan kepala saat mereka mendaratkan pandangan.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Kegelisahan para tokoh itu ternyata juga melanda Direktur Radar Mojokerto (Jawa Pos Grup) saat itu yakni Bu Naning. ’’Gus Dur dimakamkan diwilayah kita itu aset yang sangat berharga,’’ ucapnya suatu ketika. Makanya harus ada upaya untuk mengembangkan dan memaksimalkannya.
Akhirnya, Bos Naning memerintahkan untuk menggelar acara peringatan seratus hari Gus Dur di alun-alun Jombang. Semua karyawan pun diminta memberikan usulan kegiatan yang akan dilaksanakan. Banyak usulan yang masuk. Saya sendiri mengusulkan Salawat Seribu Rebana. Saya usul ini karena waktu kuliah dan nyantri di Malang pernah melihat pentas salawat kolosal di salah satu pasar. Bentuknya seperti Seribu Rebana kita yang sekarang. Ada dirigennya juga. Malah dirigennya bawa stik seperti orkestra. Cuma waktu itu yang mengadakan lembaga seni dan budaya NU (Lesbumi) Malang dengan disponsori produk rokok. Yang ceramah waktu itu KH Marzuki Mustamar, Pengasuh Pesantren Gasek yang sekarang Ketua PCNU Malang. Apa yang saya lihat di Malang itulah yang saya paparkan untuk meyakinkan bahwa acara ini bagus dan bisa sukses.
Singkat cerita, usul saya itu akhirnya disetujui dan saya disuruh menanganinya langsung. Tentu saja saya tidak kesulitan sebab tinggal menyambungkan dengan Mbah Bolong, Ustad Chalimi, Gus Latif dan beberapa orang lainnya yang langsung menyambut gembira kabar itu. ’’Ok, kita dukung penuh,’’ kata Mbah Bolong begitu saya kabari rencana itu. ’’Siapapun yang mengadakan akan kita dukung, yang penting demi Gus Dur,’’ tegasnya.
Guna menarik minat grup salawat untuk bergabung dalam acara itu, Radar Mojokerto menerbitkan iklan besar-besar. Selain itu, dengan dibantu sejumlah teman di IPNU, saya juga gerilya mendatangi grup-grup salawat yang ada guna meminta kesediaan partisipasi. Untuk lebih membangkitkan minat, kita memberi iming-iming bahwa grup salawat yang bersedia ikut akan difoto dan fotonya ditayangkan di Radar Mojokerto. Kapan lagi grup salawat kampung punya kesempatan mejeng di koran. Hehehe.
Sampai jelang acara, terdata 55 grup salawat yang menyatakan sanggup tampil. Datanya ada bila mau dilampirkan.
Agar semua grup itu bisa tampil kompak, kita memilih M Adib (Cak Adib), pengurus grup salawat Ki Brangti untuk memandu sekaligus menjadi dirigen dalam pentas tersebut. Demi Gus Dur, Cak Adib langsung menyambut antusias ajakan itu. ’’Cuma saya tidak punya kendaraan untuk riwa-riwi. Untunglah (alm) Kiai Dluha (mertua Mbah Bolong) mempersilahkan saya menggunakan motor bututnya kemana-kemana,’’ kata Cak Adib.
Setelah terkumpul beberapa grup, tahap persiapan tampil pun dimulai. Sampai pentas, setidaknya empat kali digelar gladi bersih. Yakni pada Rabu (24/3/2010) di markas Kiai Brangti Watugaluh. Lalu pada Jumat (26/3/2010) di PP Fallahul Muhibbin Watugaluh. Saat itu yang datang dari Radar Mojokerto selain saya juga Sulton dan (alm) Didit Yusanto, manajer even yang menghandel semua rangkaian acara peringatan Seratus Hari Gus Dur.
Gladi bersih ketiga dilaksanakan sehari jelang tampil yakni pada Sabtu (3/4/2010) di Musola Pendopo Kabupaten Jombang. Gladi bersih terakhir dilaksanakan Minggu (4/4/2010) sore atau dua jam sebelum tampil di alun-alun Jombang.
Hujan terus mengguyur selama acara itu. Mulai pukul 17.00-22.00. Meski demikian, baik jamaah yang hadir maupun anggota grup salawat yang tampil tetap khusyu dan tak sedikitpun beranjak dari tempat duduknya.
Acara itu pun dinilai sukses besar. Hingga muncul keinginan untuk merutinkan Salawat Seribu Rebana tersebut. Keinginan itupun langsung ditindaklanjuti dengan rapat di Musola punya Mas Eko Parimono pada Selasa (11/5/2010) untuk membentuk struktur kepengurusan Salawat Seribu Rebana. Semua yang hadir saat itu sepakat mengangkat Mbah Bolong sebagai pengasuh serta Ustad Muhajirin Bongkot Peterongan sebagai ketua, Afif Watugaluh Diwek sebagai sekretaris dan Rahmat Sumbermulyo Jogoroto sebagai bendahara.
Rapat itu juga sepakat untuk membuat rutinan Seribu Rebana tiap Sabtu malam Minggu Wage. Ustad Hajir yang turut rapat kala itu mempersilahkan rutinan kali pertama dilaksanakan di tempatnya yakni di Masjid Al-Mabrur Dusun Sumbersari Desa Sukosari Kecamatan Jogoroto pada Sabtu (19/6/20). Rutinan edisi perdana itu ternyata juga sukses dan terus berlanjut hingga sekarang.
Wallahul muwafiq ila aqwamitthariq.
Jombang, 12 Jumadil Tsaniyah 1433 H